Savran Billahi • 19 Mei 2020 04:00

PANDEMI mengusik kesadaran kita sebagai manusia modern mengenai antroposentrisme yang menganggap dunia bergerak atas pengalaman dan nilai manusia. Nyatanya, dunia bergerak dengan beragam variabel, empirik maupun non-empirik, bahkan juga transenden.
 
Tinjauan ke depan (foresight) rutin majalah The Economist di akhir tahun, The World in 2020 tidak memberi catatan sama sekali mengenai kondisi pandemi saat ini. Padahal kasus terdampak Covid-19 di China sudah muncul pada November 2019. Isu kesehatan yang muncul sebagai sempilan adalah mengenai pola konsumsi makanan, A Diet to Save Humankind. Lagi-lagi mendaraskan pada manusia.
 
Dengan pandemi ini, hubungan manusia dengan alam dan segala hal di luarnya mulai intens diperbincangkan. Tetapi perspektif mana yang kita pakai? Sejarawan Israel, Yuval Noah Harari berpendapat masa sulit akan selalu memunculkan percepatan proses sejarah (fast-forward). Pemerintah, industri, dan dunia akademisi melakukan berbagai eksperimental teknologi untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Kondisi itu menciptakan surveilans paripurna pemerintah. Harari selalu percaya diri terhadap prediksi bahwa dunia global akan menghadapi masa panen penggunaan dan pengawasan data melalui teknik sensor dan algoritma. Dengan mahadata itu setiap manusia dan pemerintah bisa melacak urusan biometrik warga negaranya. Seperti yang ia tulis di Homo Deus, masalah kesehatan, termasuk kematian adalah persoalan teknis. Penyelesaiannya pun juga bisa diatasi dengan cara teknis. Singkatnya, semua kendali di tangan besi manusia. Seperti yang ia disebutkan di karyanya, di masa depan manusia akan menjadi dewa atau homo deus.
 
Hampir dalam waktu bersamaan, penulis dan aktivis India, Arundhati Roy menulis The Pandemic is A Portal, yang agaknya mengkritisi pendapat Harari. Dengan lugas Arundhati menyatakan, “it has mocked immigration controls, biometrics, digital surveillance and every other kind of data analytics, and struck hardest —thus far— in the richest, most powerful nations of the world, bringing the engine of capitalism to a juddering halt.” (Pandemi ini telah mengejek kontrol imigrasi, biometrik, pengawasan digital dan setiap jenis analitik data lainnya, serta menyerang secara keras —sejauh ini— negara-negara terkaya dan terkuat di dunia, hingga membuat mesin kapitalisme terhenti).
 
Kenyataan kontradiktif
 
Secara provokatif ia menampilkan kenyataan kontradiktif; virus membuat burung-burung berkicau, langit menjadi tenang, beberapa hewan berseliweran di jalan, tetapi manusia tidak senang dan takut. Saintis dan para dokter dari bilik-bilik rumah sakit dan laboratorium berdoa kepada Tuhan agar diturunkan mukjizat.
 
Tetapi secara bersamaan, para pendeta dan ulama juga diam-diam mengharapkan keajaiban dari hasil kerja para saintis dan dokter. Dunia pada akhirnya mesti berjalan di atas dialog antarvariabel yang bisa saja saling kontradiktif.
 
Dalam tulisannya, Arundhati juga dengan gamblang menjelaskan tabir ketimpangan ekonomi, politik, dan budaya terbuka akibat Covid-19. Misalnya, ketika Perdana Menteri India Narendra Modri pada 22 Maret menganjurkan masyarakat melakukan social distancing serta membunyikan bel dan memukul panci di balkoni sebagai penghormatan kepada petugas kesehatan, masyarakat India justru mengadakan pawai yang berlebih, tarian, dan ritual komunitas.
 
Tujuan Modri tidak tercapai. Kaum lelaki Hindu melompat ke tong kotoran sapi dan mengadakan pesta minum air seni. Begitu juga organisasi muslim yang tidak ingin kalah. Mereka menyerukan masyarakat untuk berkumpul di masjid dalam jumlah yang besar. Pemerintah India akhirnya memberlakukan lockdown (isolasi diri).
 
Namun, anjuran lockdown yang dilakukan pemerintah India justru membuat masyarakat kelas menengah India secara besar-besaran pulang ke kampung halaman. Mereka mungkin tahu membawa virus dan menginfeksi keluarga di kampung halaman, tetapi mereka sangat membutuhkan keakraban dengan orang-orang yang mereka sayangi.

Sebaliknya, para pengangguran dan tunawisma dengan keputusasaan tetap tinggal di kota-kota di mana kesesakan sudah tumbuh sebelum muncul tragedi pandemi. Anjuran lockdown justru menghasilkan kompresi fisik pada skala yang sangat besar.

Belum habis akal, Modri membagikan video senam yoga nidra ke publik. Menurutnya, yoga nidra bisa membantu masyarakat India mengatasi tekanan isolasi diri. Tetapi sayangnya, tindakan itu berkelindan dengan kepentingan politiknya.
 
Pilihan kita
 
Pandangan Harari dan Arundhati ini merupakan alternatif untuk kita dalam melihat ulang dunia. Meskipun Arundhati tidak lari kepada solusi-solusi jangka panjang, pandangan Arundhati agaknya lebih komprehensif memandang persoalaan dengan riil. Beberapa variabel diperhitungkan, dari ekonomi, politik, budaya, hingga agama.
 
Secara eksplisit ia menegur pendekatan Harari yang sangat manusia sentris. Hubungan manusia dengan suprastruktur budaya dan agama adalah variabel yang dijauhkan dari pendekatan Harari di berbagai tulisannya.
 
Padahal kedua hal itu sangat melekat pada alam pikiran tiap zaman.Teknologi suka tidak suka memang tidak bisa diabaikan.
 
Namun variabel budaya dan agama perlu dijadikan pendekatan yang tidak boleh disingkirkan dalam suatu kebijakan. Sebagian ekspresi budaya dan keagamaan dalam masa pandemi ini memang tampak bodoh, tetapi kita harus mafhum, justru itu yang menjadi senjata pagebluk(pandemi) terkuat sebagian masyarakat luas bertahun-tahun untuk mengisi kekosongan pengetahuan yang belum mereka punya.
 
Sayangnya, kita sering gagap dengan segala bentuknya. Sulit memilah-milih bagaimana variabel budaya dan agama didekati dalam menyelesaikan persoalan. Alih-alih tepat, salah perhitungan bisa jadi menambah kompleksitas masalah seperti yang terjadi di India dalam menangani Covid-19.
 
Contoh lain salah sasaran mendekati budaya adalah seperti kebijakan sertifikasi hutan di Kalimantan yang akhirnya menyingkirkan paradigma budaya adat mengenai kepemilikan. Sebelumnya kepemilikan hutan adalah transenden (hutan larangan) sehingga keasrian hutan terjaga. Setelah muncul kebijakan sertifikasi, hutan diperebutkan karena kepemilikan sudah berada di tangan individu yang dikuatkan secara hitam di atas putih.
 
Kegagapan itu kita tidak harapkan dari pemangku kebijakan di masa pandemi ini. Sebab ketidakjelian bisa mengakibatkan ongkos sosial yang besar.
 
Pada akhirnya, pandemi ini -seperti yang dikatakan Arundhati- adalah sebuah portal. Membuka kesadaran kita tentang sesuatu di luar kemanusiaan kita.
 
Bahkan hari-hari kini kita berjalan keluar rumah dengan perasaan was-was atas sesuatu yang tak nampak dari penglihatan biasa kita. Dari kasus inilah kita belajar melihat dunia lebih luas.[]

Sumber : medcom.id

Categories: ArtikelPost

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *