Jauh dari keluarga di tanah rantau, terutama selama bulan puasa dan musim perayaan Idul Fitri, memperdalam kerinduan kita akan perayaan yang familier di tanah air, Indonesia. Namun, bahkan di negeri yang jauh melintasi dua benua, kami, sebagai para pelajar, berusaha menciptakan suasana yang sama. Saat kami menandai berakhirnya bulan Ramadan pada 9 April 2024, menyelesaikan 30 hari dari rukun Islam yang ketiga, suasana penuh dengan tawa, kegembiraan, dan doa saat kami menyambut malam Takbir. Gema “Allahu Akbar” bergema di udara, pengingat yang resonan tentang Yang Maha Kuasa.

Penasaran bagaimana perasaan para perantau seperti saya selama momen ini? Izinkan saya berbagi pengalaman saya dari malam Takbir terakhir!

Pada 9 April 2024, saya bergabung dengan teman-teman saya di sebuah acara yang diselenggarakan oleh Departemen Agama PPI Sivas yang bernama BUKSITI (Buka Bersama dan Silaturahmi Mencari Berkah di Bulan Suci) yang digabung dengan Gema Takbir oleh PPI Sivas. Di acara ini bukan hanya sekedar Buka Bersama dan menyambung tali silaturahmi saja tapi juga membagikan sertifikat bagi para hafizd/ah Qur’an yang telah menyelesaikan hafalannya dengan kategori 1, 2, dan 3 juz saat puasa Ramadhan di Program HQWH (Hamilul Qur’an wal Hadist)

Akhir acara ditutup dengan saling bersalaman bermaaf-maafan. Malam itu, menandai masuknya Bulan Syawal- yakni awal dari kebahagiaan umat Islam. Di acara BUKSITI semuanya melantunkan takbir dengan mengharapkan ridho dari Allah SWT dan tentunya acara ini menutupi kesedihan teman-teman semua di akhir Ramadhan sebagai anak rantau di negara dua benua.

Setelah acara PPI Sivas, saya melanjutkan perayaan dengan teman-teman saya, mempersiapkan hidangan tradisional Indonesia untuk Idul Fitri—lontong, rendang, bakso, opor, dan sambal goreng kentang ati ampela. Antusiasme kami bertambah saat mahasiswa dari berbagai wilayah PPI di Turki berpartisipasi dalam kompetisi Takbir “Menyatukan Hati di Bulan yang Suci” yang diselenggarakan oleh PPI Turki.

Tanpa persiapan, kami mewakili PPI Sivas mengikuti lomba takbiran tersebut. Dengan modal seadanya (sayur mayur, alat dapur, ketukan pintu) yang diusahakan kami melantunkan takbir pada malam itu.

Sampai moderatornya memberikan komentar “wah sepertinya tidak ada sayur ya di Kota Sivas ini” diikuti gelak tawa dari teman-temanku semua. Responku, “justru di Sivas banyak sayur itu kami ingin menunjukkannya.”

Setelah mengikuti lomba itu, kami melanjutkan kegiatan masak memasak untuk mempersiapkan esok harinya dan tak lupa membahas kejadian lomba takbiran tadi. Perasaan kami malam itu sangat senang dan histeris dengan gelak tawa yang sangat ceria mendampingi malam yang sudah tidak sabar menyambut bulan yang penuh kemenangan.

Keesokan harinya, para pria melaksanakan sholat Id di masjid, sementara para wanita berkumpul di rumah salah satu teman. Penting untuk dicatat bahwa di Turki, Idul Fitri tidak dirayakan sebesar di Indonesia, justru Idul Adha menarik lebih banyak antusiasme. Setidaknya terbayarkan, dengan adanya teman-teman yang hadir sebagai keluarga walau tak sedarah kami sebagai anak rantau merasakan nuansa hari raya di negara dua benua walau jauh dari negeri tercinta.

Penulis: Neisya Azaria Adinda Putri

Editor: Ahmad Faisal

Categories: Uncategorized

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *