PPITURKI.COM – Kemenangan kembali ketiga kalinya Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengundang perhatian dunia. Dua kali kepemimpinan Erdoğan sebelumnya telah membangkitkan Turki di mata politik global sehingga Barat pun ikut campur dalam pemilu dengan menyuarakan keberpihakan pada oposisi Erdoğan. Kontestasi sengit Erdoğan dengan pesaingnya, Kemal Kilicdaroğlu, dibumbui oleh politik identitas yang cukup kental. Mengapa politik identitas sering terjadi? Bagaimana dampak kemenangan Erdoğan bagi pelajar Indonesia di Turki? Bagaimana kira-kira jika oposisi yang menang?

Dalam latar belakang inilah Pusat Studi PPI Turki (PUSPITUR), bekerja sama dengan berbagai forum diskusi PPI Wilayah se-Turki (FORCI, Seduh Cay, Satelit, Bursa Literasi) mengadakan diskusi dengan tajug “Dampak Positif dan Negatif Pasca Pemilu bagi Pelajar Indonesia di Turki.”, Selasa, (30/05/23) melalui zoom. Diskusi ini menghadirkan Nana Abdul Aziz, mahasiswa S3 Ilmu Politik, Universitas Bandirma, dan Faisal Rachman, Atase Politik KBRI Ankara sebagai pemateri.

Politik identitas yang sangat kentara di Pemilu Turki merefleksikan hal yang sama terjadi di Indonesia menjelang tahun politik. Isu identitas sering “digoreng” untuk bumbu kampanye politik. Namun tidak dipungkiri bahwa negara yang memiliki citra di ranah internasional semacam Turki pun menjadikan politik identitas di setiap pemilu.

Membaca rekam poitik identitas di Turki harus disertai pembacaan terhadap sejarah republik Turki itu sendiri bahwa polarisasi itu dapat dibaca sejak Mustafa Kemal Attaturk mendirikan Republik Turki. Beliau adalah tokoh pahlawan kemerdekaan yang dihormati segala kalangan rakyat, baik konservatif maupun sekuler. Namun dalam ketokohan Attaturk sebagai tokoh reformis, itu adalah hal yang berbeda dari posisinya sebagai pahlawan kemerdekaan. Sejak beliau wafat pada tahun 1938, ia meninggalkan dua masyarakat yang terpolarisasi: sekuler dan konservatif.

Seiring berkembangnya demokrasi, terjadilah kudeta pada tahun 1960 yang merubah wajah Turki secara konstitusional. Hal ini ditandai dengan dibangunnya lembaga konstitusi dan lahirnya multi partai. Di sisi lain, kudeta ini juga dipandang sebuah kemunduran karena banyak ideologi yang berkembang.

Lahirnya AK Party oleh Recep Tayyip Erdogan pada tahun 2001 mewarnai wajah politik Turki secara signifikan. Meskipun berlatar belakang konservatif, namun partai ini tetap menjaga ideologi sekularisme Turki. Melalui soft policy power nya, Erdogan Kembali menghadirkan citra Islam di negara Turki. Salah satunya dengan mengembalikan Aya Sofya sebagai Masjid pada tahun 2020 sebagaimana dahulu diwakafkan oleh Sulan Fatih tahun 1453.

Masyarakat Turki sebetulnya sudah membaca identitas Erdogan itu sendiri tanpa dituduhkan oleh lawan politik. Meskipun berlatar belakang konservatif, Erdogan memiliki gagasan bahwa seorang presiden tidak hanya merangkul satu ideologi tertentu. Hal itulah yang membuatnya diterima oleh berbagai kalangan. Keberhasilan politiknya ini dilemparkan pada oposisinya, partai CHP, untuk turut serta merangkul kalangan konservatif. Akhirnya, partai CHP dalam kontestasi pemilu 2023 kemarin hadir dengan kemasan lebih ramah dan merangkul seolah ia tidak akan se-sekuler zaman dahulu.

Inilah strategi politik Erdogan dalam mendayung arus politik identitas sehingga lawan politiknya terpengaruh. Ketika pemilu sebelumnya partai CHP merangkul Kurdi, dan hasilnya kalah, demikian halnya dengan pemilu tahun ini yang membenci Kurdi. Hal ini membuktikan tidak mengakarnya identitas yang dimiliki oleh lawan politik Erdogan. Sedangkan Erdogan sendiri sibuk untuk membangun identitas Turki melalui gerak politiknya Erdogan. Kehadiran AK Party dengan Erdogan nya telah berkontribusi melebur polarisasi. Hal ini dikarekanan Erdogan berhasil menghadirkan ide dan gagasan di tengah isu identitas politik di tengah pemilu.

Selain mempertimbangkan kemenangan Erdogan, dalam diskusi ini juga mengulas prediksi bagaimana jika oposisi yang menang, khususnya dalam kaitannya dengan misi Kemal Kilicdaroğlu untuk mengembalikan pengungsi Suriah ke negeri asalnya. Hal yang sama juga dikhawatirkan oleh masyarakat Turki kepada Erdogan, terlebih pasca inflasi yang mengambinghitamkan warga Suriah yang disambut baik oleh Erdogan dan seolah membebani ekonomi Turki.

Sejauh ini, Erdogan tetap teguh untuk menerima pengungsi Suriah hingga mencetak rekor sebagai negara yang memiliki jumlah yang tinggi menerima pengungsi. Di samping itu, kebijakan Erdogan juga berambisi untuk menjadikan negara yang ramah akan warga asing, khususnya di bidang Pendidikan dan pariwisata. Aspek inilah yang menyumbang devisa asing paling besar.

Tingginya isu Xenophobia, atau ketakutan terhadap warga asing di kalangan warga local Turki, tentu berdampak pada Nasib pelajar asing seperti Indonesia. Maka cara bijak dalam menyikapinya adalah dengan menjadi pelajar yang responsible, yang taat serta bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai pelajar. Tunjukkanlah citra yang baik sebagai warga negara Indonesia. Karena pada hakikatnya, duta besar itu tidak hanya digambarkan oleh Pak Dubes saja, melainkan kita semua adalah ambassador, duta besar negara kita. “Pintar-pintarlah menjaga diri dan menjaga marwah sebagai warga negara Indonesia,” pungkas pemateri dalam closing statement-nya.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *